ALASAN PEMBENAR DAN ALASAN PEMAAF DALAM HUKUM PIDANA

 


Penyusun : Ayopri, S.HI*

Dalam sebuah tindak pidana, seorang tersangka atau terdakwa sekalipun, masih memiliki hak hukum yang patut diupayakan, tentu sesuai ketentuan hukum yang berlaku, upaya membela bisa dilakukan sendiri oleh tersangka atau terdakwa dengan keterangan pemeriksaaan baik tingkat penyidikan hingga di muka pengadilan, selain itu juga bisa juga menggunakan jasa pembela hukum, dengan pledoi di pengadilan. Mengapa demikian? karena secara hukum setiap manusia memiliki hak asasi dan hak hukum masing-masing, hak-hak itulah yang patut diupayakan sesuai ketentuan yang berlaku. 

Penegakan hukum adalah sebuah upaya penerapan keadilan, demi terciptanya sebuah keadilan dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat, tanpa adanya hukum agar diketahui siapa yang salah dan siapa yang benar, maka dari itu  tidak gampang seseorang dinyatakan salah atau benar tanpa adanya putusan dari pengadilan, justifikasi seseorang dikatakan salah atau benar harus berdasar putusan pengadilan yang telah ingkrah, yaitu final dan mengikat. 

Seseorang yang disangka ataupun didakwa belum tentu dinyatakan bersalah, Karena itu prinsip asas praduga tidak bersalah tetap harus dikedepankan, tentu pemahaman itu berlaku kepada masyarakat umum, bagi seorang penyidik atau penyelidik adalah tugas penting dalam mencari keadilan untuk memiliki praduga bersalah, karena siapapun yang diduga melakukan pelanggaran hukum patut untuk ditelusuri dicari kebenarannya untuk digali buk-bukti kesalahannya. 

Dalam hukum pidana terdapat keadaan-keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seorang pelaku pidana, hingga hakim pun tidak dapat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tersebut atau yang disebut juga sebagai dasar-dasar yang meniadakan hukuman.

Dalam dasar-dasar yang meniadakan hukuman terdapat dua jenis alasan yang masuk ke dalam kategori tersebut, yaitu Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf. Alasan pembenar dan alasan pemaaf merupakan alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang menyebabkan seseorang tidak dapat dipidana/dijatuhi hukuman.

Alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum suatu perbuatan.   Jenis-jenis alasan pembenar adalah: 

a. Daya Paksa (Pasal 48 KUHP); 

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Dalam Pasal 48 KUHP tersebut diatur mengenai daya paksa yang merujuk pada konsep daya paksa dalam Hukum Pidana. Memorie van Toelichting menyatakan bahwa daya paksa merupakan suatu kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang tidak dapat ditahan atau dilawan.

Jika melihat pada rumusan dari Pasal 48 KUHP tersebut, maka dapat dipahami bahwa daya paksa menjadi salah satu alasan dalam hal penghapusan pidana. Akan tetapi, tidak serta-merta daya paksa dapat menjadi alasan penghapus pidana. Hal ini dikarenakan terdapat batasan-batasan yang sekiranya harus dipenuhi agar suatu daya paksa dapat dianggap sebagai alasan penghapus pidana. Adapun daya paksa yang dapat diterima sebagai alasan penghapus pidana adalah daya paksa yang berasal dari kekuatan yang lebih besar, yaitu kekuasaan yang pada umumnya tidak dapat dilawan. Berkaitan dengan kekuatan yang lebih besar tersebut, maka daya paksa dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

 1. Paksaan Mutlak

Pada keadaan ini, pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat hal lain selain tindakan yang dipaksakan kepadanya. Artinya, pelaku tindak pidana tersebut melakukan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Menurut Andi Hamzah, daya paksa mutlak atau yang bisa disebut juga sebagai vis absoluta bukanlah daya paksa sesungguhnya. Hal ini tentu masuk akal karena dengan adanya paksaan mutlak, sesungguhnya orang tersebut tidak melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, jika dalam suatu tindak pidana terdapat unsur paksaan mutlak, maka Pasal 48 KUHP ini tidak perlu diterapkan. Contohnya adalah orang yang melakukan tindak pidana, tetapi ia sebagai alat.

 2. Paksaan Relatif

Dalam paksaan yang sifatnya relatif, dapat dipahami bahwa seseorang mendapat pengaruh yang tidak mutlak, akan tetapi meskipun orang tersebut dapat melakukan tindakan lain, ia tidak bisa diharapkan untuk melakukan tindakan lain dalam menghadapi keadaan serupa. Artinya, orang tersebut masih memiliki kesempatan untuk memilih tindakan apa yang akan dilakukannya meskipun pilihannya cukup banyak dipengaruhi oleh pemaksa. Oleh karena itu, tampak adanya perbedaan dengan paksaan mutlak. Pada paksaan mutlak, segala sesuatunya dilakukan oleh orang yang memaksa, sedangkan pada paksaan relatif, perbuatan masih dilakukan oleh orang yang dipaksa berdasarkan pilihan yang ia buat.

 3. Keadaan Darurat

Keadaan darurat seringkali disebut juga sebagai Noodtoestand. Keadaan darurat berkembang berdasarkan putusan Hoge Raad pada tanggal 15 Oktober 1923 yang dinamakan sebagai opticien arrest. Berdasarkan putusan tersebut, Hoge Raad membagi keadaan darurat menjadi 3 (tiga) kemungkinan, yaitu adanya benturan antara 2 (dua) kepentingan hukum, benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, serta benturan antara 2 (dua) kewajiban hukum. Pada dasarnya, jika berbicara mengenai keadaan darurat, maka dapat dipahami bahwa dalam keadaan darurat, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang terjadi atas pilihan yang ia buat sendiri.

b. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 Ayat (1) KUHP); 

Dalam ilmu hukum pidana pembelaan dalam keadaan darurat. Perbuatan pembelaan darurat atau pembelaan terpaksa (noodweer) diatur pada Pasal 49 KUHP, bunyinya: (1) Tidak dipidana, barang siapa perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. (2) Pembelaan hebat yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. 

Syarat-syarat pembelaan darurat menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 64-65), yaitu: 

 1. Perbuatan yang dilakukan itu harus dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus sangat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti, misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain; 

 2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya untuk kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain; 

 3. Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman dengan sekonyong-konyong atau pada saat itu juga. 

R.Soesilo (hal. 65) memberi contoh "pembelaan darurat" yang diatur dalam Pasal 49 KUHP yaitu seorang pencuri yang akan mengambil barang-barang orang lain, atau pencuri yang berhasil menemukan barang-barang lain yang memiliki kejadian tersebut dengan belati dan sebagainya. Di sini orang tidak boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barangnya yang dicuri itu, sebab pencuri telah menyerang dengan hak. Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga. Tapi, jika si pencuri dan barangnya telah tertangkap, maka orang tidak boleh membunuh maupun mencurinya, karena pada saat itu tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri, baik terhadap barang orangnya. 

R. Sugandhi, SH, terkait Pasal 49 KUHP, mengatakan bahwa agar tindakan ini benar-benar dapat digolongkan sebagai "pembelaan darurat" dan tidak dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut: 

1. Tindakan yang harus dilakukan harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) diri. Pertahanan atau pembelaan itu harus demikian sehingga dapat dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik; 

2. Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan, dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain; 

3. Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman yang (pada saat itu juga). Untuk dapat dikatakan melawan hak, penyerang yang melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak memiliki hak untuk itu, misalnya seorang pencuri yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan ketika mengambil barang lain kemudian menyerang pemilik barang itu dengan senjata tajam. Dalam keadaan seperti ini, kita tidak boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barang yang dicuri itu sebab pencuri telah menyerang dengan melawan hak. 

c. Sebab Menjalankan Perintah Undang-Undang (Pasal 50 KUHP); dan

Komitmen tentang tidak dapat dihukum seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan perintah undang-undang.

d. sebab menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat (1) KUHP)

Komitmen tentang tidak dapat dihukum orang yang melakukan sesuatu tindakan untuk melaksanakan suatu perintah yang telah diberikan oleh kekuasaan yang untuk memberikan perintah semacam itu.

Pasal 51 ayat (2) KUHP, yang tidak dapat melakukannya untuk memberikan perintah seperti itu, asalkan perintah tersebut oleh orang yang mendapat perintah baik dianggap sebagai perintah yang diberikan oleh kekuasaan yang memang menunjukkan untuk memberikan perintah dan pelaksanaan dari perintah tersebut memang terletak di lingkungan pekerjaan.

Pasal 59 KUHP, tentang tentang tidak dapat dihukum, pengurus atau komisaris-komisaris karena pelanggaran pelanggaran tersebut terjadi di luar mereka.

Selain dari keadaan tersebut maka pidana terhadap seseorang tidak dapat ditiadakan. Ini berarti surat pernyataan pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa tidak bisa menghilangkan pertanggunjawaban pidana.

Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan unsur kesalahan dalam diri pelaku. Pada umumnya, pakar hukum mengkategorikan suatu hal sebagai alasan pemaaf, yaitu:

 1. ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP); 

tentang tidak dapat dihukumnya orang yang ke atas erekeningsvatbaar atau orang yang tidak dapat diperbuat atas perbuatannya.

 2. daya paksa (Pasal 48 KUHP);

Menentukan tentang tidak dapat dihukumnya orang yang berada dalam suatu overmacht (keadaan paksa).

 3. pembelaaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 Ayat (1) dan (2) KUHP); dan

Pasal 49 ayat (1) KUHP

Tentang tidak dapat dihukumnya orang yang melakukan suatu noodweer (pembelaan diri karena terpaksa).

Pasal 49 ayat (2) KUHP

tentang tidak dapat dihukum suatunya orang yang telah melakukan sesuatu tindakan yang pada hakikatnya merupakan noodweerexces (pembelaan darurat yang melampaui batas yang sangat perlu, yang dilakukan karena perasaan tergoncang).

 4. menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang  (Pasal 51 Ayat (2) KUHP)

Sebagai kesimpulan, alasan pemaaf berarti alasan yang menghapuskan kesalahan dari pelaku tindak pidana. Sementara itu, alasan pembenar berarti alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana. Selain itu, alasan pemaaf bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Sedangkan alasan pembenar bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pelaku.

Sebagai catatan penting dalam tulisan ini, perlu disampaikan kepada seluruh pembaca, bahwa celah hukum pemaafan dan pembenaraan hukum yang telah diuraikan diatas tentu masih diperlukan penelusuran, penyelidikan dan penyidikan kalau perlu persidangan, tidak serta merta karena ada motif yang diceriktakan oleh tersangka atau terdakwa lalu dijadikan dasar pemaafaan dan pembenaran, tentu penyidik, penuntut dan hakim di pengadilan akan memeriksa dengan seksama dan teliti semua berkas, pengakuan dan kesaksian serta pembuktian. Lebih-lebih kasus yang sarat dengan rekayasa, maka tentu akan ketahuan baik masih proses penyidikan hingga persidangan. 

Yan perlu dipahami bersama, bahwa kata alasan pemaaf dan pembenaraan bukan berarti hanya mendasari pada pengakuan atau kesaksian belaka, namun pembuktian secara ilmiah harus dikedepankan, saintifik, sahingga tidak mengalami penerapan hukum yang multi tafsir dan bias, tidak berkeadilan ditengah masyarakat.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Starfrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915

Referensi:

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 

Schaffmeister D, Keijzer N, PH E. Sutorius. Hukum Pidana. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), 

Doddy Makanoneng, Cacat Kejiwaan sebagai Alasan Penghapus Pidana, Lex Crimen, Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016, 

*Penyusun adalah alumni STAIN (sekarang UIN KHAS) Jember, Pendiri sekaligus Advokat / Pengacara, Konsultan Hukum di Firma Hukum MHA, Alamat Kantor : Jl. A. Yani Nomer 123, Sawahan Cantian, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember

Layanan Konsultasi Hukum :

Wa : 085258500299 / 085257562729

Email : mha.lawfirm@gmail.com / lawfirm.mha2@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANFAAT POSITIF SEBUAH PERUSAHAAN MENGGUNAKAN JASA PENGACARA (Legal Corporate atau Corporate Lawyer)

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG AGAMA-AGAMA DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

ALAT BUKTI KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BERDASAR KUTIPAN BUKU LETTER C