ALAT BUKTI KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BERDASAR KUTIPAN BUKU LETTER C

 


OLEH : AYOPRI AL JUFRI*

A. Latarbelakang

Permasalahan tentang tanah dewasa ini sangatlah penting artinya, karena setiap manusia tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupannya untuk meninggalpun ia membutuhkan sebidang tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah banyak. Sengketa tanah merupakan persoalan yang bersifat klasik, selalu ada dimana-mana dimuka bumi dan secara kualitas maupun kuantitas selalu mengalami peningkatan dikarenakan luas tanah yang tetap, sementara jumlah penduduk yang memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhannya terus bertambah.

Secara konstitusional, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) telah memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang  terkandung di dalamnya  dikuasai  oleh  negara  dan  dipergunakan  untuk  sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjabaran dari ketentuan tersebut di atas selanjutnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria dan disingkat UUPA), yang lahir pada tanggal 24 September 1960 dengan tujuan untuk memberikan dasar hukum yang jelas bagi kepemilikan hak- hak atas tanah. Pasal 2 ayat (2) huruf a, b, dan c UUPA, negara sebagai kekuasaan tertinggi atas rakyat, yang memiliki kewenangan:

 1. Mengatur  dan  menyelenggarakan peruntukan,  penggunaan,  persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

 2. Menentukan  dan  mengatur  hubungan-hubungan  hukum  antara  orang- orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

 3. Menentukan  dan  mengatur  hubungan-hubungan  hukum  antara  orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan munculnya konflik maupun sengketa. Guna mengantisipasi konflik pertanahan yang berkembang diperlukan adanya perlindungan hukum bagi masyarakat terkait dengan bidang tanahnya, melainkan mereka masih menggunakan petok, girik, letter C atau letter D sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Buku Letter C sebagai satu poin penting dalam persyaratan pengurusan sertipikat jika yang dipunyai sebagai bukti awal kepemilikan hak atas tanah itu pertanahan yang menyangkut tentang kepemilikan hak atas tanah. Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah adalah adanya bukti kepemilikan hak atas tanah. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 UUPA, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat. Berdasarkan Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan Letter C yang berada di Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah.

Menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan pula bahwa untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah. Hal ini dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Pendaftaran tanah telah dianjurkan oleh Undang-Undang, hal itu bertujuan untuk mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum atas suatu bidang tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mendaftarkan hanya berupa girik, ketitir, atau petuk.

B. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam tahap pembuktian. Menurut Soedikno mertukusumo dalam buku Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata yang dikutip oleh Achmad Ali, menyatakan bahwa: “apakah sesuatu itu merupakan alat bukti, tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi/diajukan dalam persidangan,  tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetapkan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak di persidangan. Jadi, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti.”

Alat bukti memiliki pengertian bahwa alat-alat bukti (yang sah) adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu peristiwa, dimana alat-alat tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu peristiwa hukum.

Macam alat bukti menurut Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain, sebagai berikut :

 1. Bukti tertulis;

 2. Bukti saksi;

 3. Persangkaan;

 4. Pengakuan;

 5. Sumpah;

Semuanya tunduk pada aturan-aturan yang tercantum dalam bab-bab berikut. Lebih lanjut menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastro Pranoto membuat definisi satu persatu dari alat bukti yaitu :

a. Alat Bukti Tertulis

Yang dimaksud dengan tulisan adalah segala sesuatu yang membuat tanda-tanda yang dapat diartikan yang mengandung isi suatu pikiran. Alat bukti tulisan yang terkenal ialah akta autentik dan akta dibawah tangan.

b. Alat Bukti Saksi

Setiap orang, jika diperlukan pengadilan, wajib jadi saksi untuk diminta keterangannya.

c. Alat Bukti Sangkaan

Yaitu  kesimpulan  yang  ditarik  oleh  hakim  dari  pristiwa  yang  sudah terbukti. Cara ini disebut pula “bukti tidak langsung”.

d. Alat Bukti Pengakuan

Pengakuan adalah pernyataan sepihak dari salah satu pihak dalam proses, yang membenarkan keterangan pihak lawan baik sebagian maupun seluruhnya.

e. Alat Bukti Sumpah

Sumpah ada 2 (dua) macam :

Sumpah  decisoir  yaitu  sumpah  yang  dimintakan  oleh  pihak  satu kepada pihak lain atas nama tergantung keputusan perkara.

Sumpah suppletoir yaitu sumpah yang diminta oleh hakim kepada salah satu pihak untuk menambah alat bukti lainnya (tidak bersifat menentukan).

C. Fungsi Alat Bukti

Sesuai dengan ketentuan dalam KUH Perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Fungsi alat bukti adalah digunakan sebagai alat untuk membuktikan sesuatu dalam suatu perkara, yang dalam hal ini pembuktian dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terdapat dalam sengketa/perkara tersebut, seorang saksi, ahli, bahkan juga dilakukan oleh seorang hakim.  Kata “membuktikan” menurut H.F.A Vollmart dalam bukunya Pengantar Studi Hukum Perdata, bahwa dalam beracara ialah memberikan keterangan kepada hakim sejumlah kepastian yang patut tentang kenyataan yang harus dibuktikan yang kadar kepastian yang patut itu hilang, apabila pihak lawan tampil ke muka dengan alat - alat pembuktian kontra (yang melawan alat pembuktian yang pertama).”

Dari urutan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, maka alat bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. Berbeda dengan alat bukti dalam perkara pidana di mana alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi. Hal ini dikarenakan seseorang yang melakukan tindak pidana selalu menyingkirkan atau melenyapkan bukti-bukti tulisan dan apa saja yang memungkinkan terbongkarnya tindak pidana yang dilakukan oleh para pelakunya, sehingga bukti harus dicari dari keterangan orang-orang yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami sendiri kejadian yang merupakan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, dalam praktek perdata misalnya dalam perjanjian    jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penghibahan, perwasiatan, pengangkutan, asuransi, dan sebagainya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut umumnya dengan sengaja membuat bentuk tulisan untuk keperluan pembuktian dikemudian hari jika diperlukan, misalnya apabila satu ketika timbul sengketa atas perbuatan tersebut maka dapat dibuktikan permasalahan dan kebenarannya dengan akta yang bersangkutan.

Atas kenyataan tersebut, dalam perkara perdata alat bukti yang dianggap paling dominan dan determinan adalah alat bukti tulisan atau surat. Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa orang-orang yang harus dibuktikan tersebut. Orang- orang tersebut  di  muka  hakim diajukan  sebagai  saksi.  Orang-orang  tersebut mungkin saja pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung (misalnya dalam perjanjian jual- beli, sewa-menyewa, dan lain-lain) dan ada pula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang dipersengketakan tersebut.

Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami  sendiri peristiwa  yang  harus  dibuktikan,  maka  diusahakan  untuk membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi, dan dari peristiwa itu hakim dapat mengambil suatu kesimpulan. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-peristiwa lain inilah yang  dinamakan persangkaan. Bila pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tak langsung karena pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik melainkan diperoleh dari kesimpulan sesuatu hal atau peristwa yang terjadi di persidangan. Persangkaan, selain yang merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari suatu peristiwa yang dipersengketakan yang disebut dengan persangkaan hakim, ada pula yang merupakan ketentuan undang-undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim yang disebut  juga dengan persangkaan undang-undang.

Pengakuan  dan  sumpah  juga  termasuk  dalam  kelompok  pembuktian secara   tak   langsung.   Karena   pada   dasarnya   pengakuan  bukan   berfungsi membuktikan tetapi pembebasan pihak lawan untuk membuktikan hal yang diakui pihak lain. Jika tergugat mengakui dalil penggugat, pada dasarnya tergugat bukan membuktikan kebenaran dalil tersebut, tetapi membebaskan penggugat dari kewajiban beban pembuktian untuk membuktikan dalil yang dimaksud. Sama halnya dengan sumpah, dalam hal ini, dengan diucapkannya sumpah yang menentukan (decisoir eed) atau sumpah tambahan (aanvullend eed) dari suatu peristiwa  maka dapat  disimpulkan adanya suatu  kebenaran tentang  hal yang dinyatakan dalam lafal sumpah. Dengan kata lain, sumpah bukan membuktikan kebenaran tentang apa yang dinyatakan dalam sumpah tersebut, tetapi dari sumpah itu disimpulkan kebenaran yang dijelaskan dari sumpah tersebut.

D. Pengertian Hak Atas Tanah dan Kepemilikan Hak Atas Tanah

Dalam hukum, seseorang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda diijinkan kepadanya untuk menikmati hasil dari benda miliknya itu. Benda tersebut dapat dijual, digadaikan atau diperbuat apa saja asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan. Ijin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum itu disebut dengan “hak atau “wewenang”. Hak dan wewenang dalam bahasa Latin disebut dengan “ius” atau dalam bahasa Belanda “recht” atau “droit” dalam bahasa Prancis. Untuk membedakan hak dan hukum dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah “subjective recht” untuk hak dan “objective recht” untuk hukum atau peraturan-peraturan yang menimbulkan hak bagi seseorang. 

Dalam kaitannya dengan hak tersebut, salah satu bentuk hak dalam masyarakat adalah adanya hak atas tanah.

Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa atas dasar menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Jadi, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi (yang disebut tanah). Terkait demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas sehingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksud itu bukan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, karena hanya diperbolehkan menggunakannya dan itupun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2).

E. Pengertian Buku Letter C

Letter C jarang dibahas atau dikemukakan dalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan. Padahal ini ada dalam kehidupan masyarakat meskipun sebutannya berbeda-beda. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUPA, dikemukakan bahwasanya hak milik atas tanah dapat “beralih dan “dialihkan” kepada pihak lain. Hak-hak lain yang statusnya sama dengan hak milik adalah tanah girik dan tanah verponding (tanah adat yang diakui sebagai hak milik tetapi terdapat di kota-kota). Tanah girik adalah istilah lain dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum dikonversi (diubah). Ada bermacam-macam istilah selain girik antara lain petok D, petuk, pipil, rincik, ketitir, Letter C. Girik sebenarnya adalah surat pajak hasil bumi yang merupakan bukti bahwa seseorang menguasai sebidang tanah tersebut dan bukan merupakan sertipikat.

Ketentuan mengenai letter C sebagai bukti pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 mengenai Surat Pajak Hasil Bumi/Verponding Indonesia atau surat pemberian hak dan instansi yang berwenang, dalam peraturan ini diatur bahwa sifat yang dimiliki letter c adalah hanya sebagai bukti permulaan untuk mendapatkan tanda bukti hak atas tanah secara  yuridis  yaitu  sertipikat. 25  Sertipikat  berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat di dalam bukti pemilikan. Sertipikat menjamin kepastian hukum mengenai orang yang menjadi pemegang hak atas tanah, kepastian hukum mengenai lokasi dari tanah, batas serta luas suatu bidang tanah, dan kepastian hukum mengenai hak atas tanah miliknya. Dengan kepastian hukum tersebut dapat  diberikan perlindungan hukum kepada orang  yang tercantum namanya dalam sertipikat terhadap gangguan pihak lain serta menghindari sengketa dengan pihak lain.

Saat  ini  dengan  adanya  UUPA  yang  ditindak  lanjuti  dengan  adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 UUPA, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.

Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan  Letter  C  yang  berada  di  Kelurahan  atau  Desa  merupakan  bukti kepemilikan yang sah. Juga masih terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27 Maret 1993, Nomor SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/ Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB II).

F. Isi Buku Letter C

Penjelasan mengenai isi buku letter C ini, penulis juga didasarkan atas pendapat masyarakat, sarjana, dan menurut beberapa sudut pendapat, bahwa isi dari buku letter C terdapat beberapa bagian isi, bagian tersebut terdiri dari :

1) Masyarakat berpendapat isi buku letter C adalah :

a. Mengenai luas dan kelas tanah serta nomor persil;

b. Mengenai nama pemilik;

c. Mengenai jumlah pajak.

2)  Isi buku Letter C adalah :

a. Daftar tanah;

b. Nama pemilik dengan nomor urut;

c. Besarnya Pajak.

3)  Contoh Buku Letter C, isinya adalah :

a. Nama pemilik;

b. Nomor urut pemilik;

c. Nomor bagian persil;

d. Kelas desa;

e. Menurut daftar pajak bumi yang terdiri atas : Luas tanah, hektar (ha), dan are (da), Pajak, R (rupiah), dan S (sen)

f. Sebab dan hal perubahan;

g. Mengenal Kepala Desa/Kelurahan yaitu, tanda tangan dan stempel desa.

G. Fungsi Buku Letter C

Letter C diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, Letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa/Kelurahan.

Letter C diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, Letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa/Kelurahan.

Dan tidak dapat dilupakan pula bahwa buku Letter C juga merupakan syarat yang harus ada untuk pengkonversian tanak milik adat, sebagai bukti hak milik adat. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa buku Letter C dapat dikatakan sebagai alat bukti tertulis, kemudian di dalam hal ini penulis akan membahas fungsi dari buku Letter C dari beberapa segi. Buku Letter C sebagai salah satu syarat untuk pengkonversian tanah milik adat, dapat dikemukakan pada Pasal 11 ayat (1) UUPA, bahwa:

Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip- mirip dengan Hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebaga dibawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarische eigendom, milik, yasan andar beni,  ha  katas  druwe/druwe  desa,  pesini,  grant  sultan,  Iarderijen bezitreecht,  altijjddurende  Erpacht,  Hak  Usaha  atas  bekas  tanah partikulir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang- undang ini, menjadi Hak Milik tersebut dalam Pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat, sebagai tersebut dalam Pasal 21.

Adapun yang dimaksud dengan surat-surat bukti hak menurut Peraturan Menteri Pertanahan dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonseia Atas Tanah ialah :

Surat hak tanah yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, ordononatie tersebut dalam S. 1873 Nomor 38 dan Peraturan Khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta serta Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat (Pasal 2  Peraturan Menteri Pertanahan dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962).

Surat Pajak Hasil Bumi/Verponding Indonesia atau surat pemberian hak dan instansi yang berwenang (Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962).

Selain itu masih terdapat tanah dengan Girik, atau Letter C, Letter D atau Petuk, dan kwitansi serta alat bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lainnya,  yang tidak dianggap sebagai bukti hak  atas tanah, melainkan hanya dianggap sebagai hak menguasai saja. Oleh karena itu, kedudukannya sebagai bukti hak atas tanah masih sangat lemah dibandingkan sertipikat.

H. Kutipan Buku Letter C

Kutipan buku Letter C yang dianggap masyarakat umunya adalah girik, kekitir, petuk D, yang ada di tangan pemilik tanah. Sedangkan yang asli terdapat di Desa/Kelurahan, sedangkan kutipannya berupa girik, petuk D, kekitir, diberikan kepada pemilik tanah sebagai bukti pembayaran pajak. Tanah yang tidak memiliki atau belum memiliki sertipikat umumnya terdapat dalam kutipan Letter C. Letter C diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, Letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa/Kelurahan. 

Perlindungan hukum yang diberikan kepada setiap pemegang hak atas tanah merupakan konsekuensi terhadap pendaftaran tanah yang melahirkan sertipikat. Untuk itu setiap orang atau badan hukum wajib menghormati hak atas tanah  tersebut. Sebagai  suatu  hak   yang  dilindungi  oleh  konstitusi,   maka penggunaan dan pemanfaatan tanah milik orang atau badan hukum lain, wajib dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang pada dasarnya tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.

Di Indonesia hak atas tanah diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria yang diwujudkan dalam bentuk sertipikat hak atas tanah sebagai alat pembuktian yang kuat yang ditindak-lanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang  kini telah dicabut  dan ditegaskan kembali  dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembahasan mengenai pengakuan hak atas tanah yang dikonkritkan dengan penerbitan sertipikat tanah menjadi sangat penting, setidak-tidaknya karena:

Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum pemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Pemilikan sertipikat  akan memberikan perasaan tenang dan tentram, karena dilindungi  dari  tindakan  sewenang-wenang  yang  dilakukan  oleh siapapun;

Dengan pemilikan sertipikat  hak atas tanah,  pemilik  tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu sertipikat hak atas tanah mempunyai nilai ekonomis seperti dapat disewakan, menjadi jaminan utang atau sebagainya;

Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah kepemilikan  tanah  dengan  luas  berlebihan  yang  ditentukan  oleh peraturan perundang-undangan.

Meskipun telah mendapatkan pengakuan dalam UUPA, sertipikat hak atas tanah belum menjamin kepastian pemilikannya karena dalam peraturan perundang-undangan memberi peluang kepada pihak lain yang merasa memiliki tanah dapat menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat secara keperdataan, baik ke peradilan umum atau menggugat Kepala Badan Pertanahan Nasional ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Adanya gugatan ke pengadilan umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara, dikarenakan sertipikat mempunyai dua sisi, yaitu sisi keperdataan dan sisi yang merupakan bentuk keputusan yang bersifat penetapan (beschiking) yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai pejabat tata usaha negara.

I. Kesimpulan

Dari semua uraian diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang Kutipan Buku Letter C sebagai alat bukti kepemilikan hak katas  tanah di persiadangan, ketika terjadi sengekta tanah.

 1. Kutipan Buku Letter C merupakan bukti permulaan kepemilikan hak atas tanah sesuai Pasal 1866 KUH Perdata dan 164 HIR, untuk memperoleh suatu hak atas tanah dalam melakukan pendaftaran atas tanah dimana tanah-tanah tersebut sebagai tanah-tanah yang tunduk terhadap hukum adat. Kutipan Buku Letter C dapat digunakan sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah ketika tanah atau objek yang bersangkutan belum pernah disertipikatkan. Fungsi dari Letter C ini sendiri sebagai alat bukti hak atas tanah dan syarat adminitrasi ketika tanah akan disertipikatkan. Ketika sertipikat hak atas tanah ini telah terbit, Kutipan Buku Letter C ini sendiri tidak lagi sebagai alat bukti terkuat dan utama, namun sertipikat yang diterbitkan oleh PPAT menjadi alat bukti yang terkuat dan terpenuh. Pada intinya Kutipan Buku Letter C merupakan alat bukti hak atas tanah sebelum terbitnya sertipikat.

 2. Buku  Letter  C  dalam  praktiknya   disimpan  oleh  Lurah/Kepala  Desa, sedangkan yang kita kenal sebagai Kutipan Buku Letter C diberikan oleh Lurah/Kepala Desa kepada pemilik hak atas tanah yang telah mempuyai alat bukti yang kuat, adapun Kutipan Buku Letter C merupakan hasil rincian pendataan tahun 1950 sebelum berlakunya UUPA. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka Kutipan Buku Letter C merupakan alat bukti pembayaran pajak dan dapat dimohonkan sebagai perolehan hak atas tanah. Untuk itu dengan adanya alat  bukti Kutipan Buku Letter C,  bahwa sistem pendaftaran tanah yang dilakukan biasa ditempuh dalam memperoleh sertipikat tanah hak milik yang pertama kali artinya sebelumnya tanah-tanah tersebut belum disertipikatkan.

Daftar Pustaka :

BUKU 

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, Jakarta: Bina Cipta

Ali Achmad Chomsah, 2003, Hukum Agraria (Pertananhan Indonesia) Jilid I, Jakarta: Prestasi Pustaka

Aminuddin Salle, 2007, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Kreasi Total Media

A.P. Parlindungan, 1991, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, Bandung: Mandar Maju

_______________, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju

Bachtiar  Effendi,  1993,  Praktek  Permohonan  Hak  Atas  Tanah,  Jakarta: Rajawali Pers

Bambang  Waluyo,  1996,  Sistem  Pembuktian  Dalam  Peradilan  Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika

Boedi  Harsono,   2002,   Hukum  Agraria   Indonesia   Himpunan   Peraturan- Peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan

C.S.T Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka

Eddy Ruchiyat, 2004, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Bandung: Alumni

Eko Yulian Isnur, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah, Jakarta: Pustaka Yustisia

Erman Slaats, 2007, Masalah Tanah di Indonesia dari Masa Ke Masa, Depok: Lembaga Studi Hukum Ekonomi

G. Kartasapoetra, 2008, Hukum Pertanahan Teori dan Praktik, Malang: Bayu Media Publishing

Hadi    Setia    Tunggal,    1999,    Pendaftaran    Tanah    Beserta    Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Harvarindo

Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Persada Media

___________,  2010,  Pendaftaran  dan  Peralihan  Hak  Atas  Tanah,  Jakarta: Kencana

Wahyu Muljono, 2002, Teori dan Praktek Peradilan Perdata Di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

*Penulis Alumni STAIN (UIN KHAS) Jember, bekerja sebagai Konsultan Hukum di Firma Hukum MHA Litigation & Corporate Lawyers.

Layanan Konsultasi : 085258500299

Lampiran, Contoh Letter C





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANFAAT POSITIF SEBUAH PERUSAHAAN MENGGUNAKAN JASA PENGACARA (Legal Corporate atau Corporate Lawyer)

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG AGAMA-AGAMA DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

SAKSI AHLI SYARAT DAN FUNGSINYA DALAM PERSIDANGAN