PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG AGAMA-AGAMA DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

 

Oleh : Ayopri Al Jufri*

Pembahasan ini sebenarnya saya (penulis) pernah melakukan penelitian Ilmiah berupa Skripsi tahun 2010 sewaktu kuliyah di STAIN (UIN KHAS) Jember dengan Judul "Pandangan Tokoh Agama Kabupaten Bondowoso Terhadap Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama". Penelitian itu terkodifikasi dalam 155 halaman dengan melampirkan 39 daftar pustaka. 

Tulisan ini hadir lagi sebagai pembahasan ulang atas viralnya berita tentang perkawinan beda agama yang dilakukan oleh staf khusus presiden Jokowi. Baru-baru ini nama Ayu Kartika Dewi ramai diperbincangkan publik, Bukan tanpa alasan, Ayu diketahui telah melangsungkan pernikahan beda agama pada hari, Jumat (18/3/2022).

Pengertian Perkawinan Beda Agama

1. Menurut Drs. Mahjudin dalam Bukunya " Masailul Fiqiyah" halaman 29.

a. Perkawinan seorang muslim atau muslimah dengan ahlul kitab (yahudi, nasrani atau majusi) disebut dengan istilah (التزوج با هل الكتاب)

b. Perkawinan seorang muslim atau muslimah dengan orang musyrik, disebut dengan (التزوج بالمشرك)

c. Perkawinan seorang muslim atau muslimah dengan seorang komunis atau ateis (orang yang tidak mempercayai adanya tuhan) disebut dengan istilah (التزوج بالملحد)

2. Menurut Dr. Setiawan Budi Utomo dalam Bukunya "Fiqih aktual jawaban tuntas masalah kontemporer" halaman 258, memberika pengertian Perkawinan beda agama adalah perkainan orang islam (pria / wanita) dengan orang non muslim baik dengan pria / wanita lazimnya disebut perkawinan beda agama atau lintas agama.

Dari dua kutipan pendapat diatas dapat kita pahami bahwa perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilangsungkan atas perbedaan status agama mempelai pria dan mempelai wanita. 

Dalam menentukan hukum perkawinan beda agama, beberapa penulis berbeda pendapat, akantetapi hal itu merupakan kamajemukan dalan berilmiah, disatu sisi para penulis mengatakan bahwa perkawinan beda agama merupakan kajian keagamaan, karena objeknya adalah umat beragama, disatu sisi mengatakan perkawinan beda agama merupakan kajian kenegaraan karena berkaitan dengan warga negara, dan sisi yang lain mengatakan merupakan kajian keilmuan tersendiri dalam kajian fiqih islam, seperti diungkap oleh Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya "Al-Masalul Fiqiyah" halaman 39.

Kerumitan dalam memberikan suatu hukum pada pelaksanaan perkawinan beda agama juga dirasakan oleh orang-orang liberal, seperti Nur Cholis Madjid (Cak Nur) misalnya menyampaikan bahwa hal lain yang tidak kalah rumitnya adalah perkawinan beda agama. Dalam banyak kasus dimasyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar terhadap kawin beda agama, umumnya pada persolan halal dan haramnya kawin  antar umat beda agama. Para ulama selalu berpegangan pada ayat Al Qur'an surah Al Baqoroh ayat 221 (Fiqih Lintas Agama, membangun masyarakat Inklusif-pluralis, halaman 153-154).

Hukum perkawinan beda agama menurut agama-agama dan Hukum Positif di Indonesia.

1. Menurut Islam

Dalam hukum islam tentu yang jadi sumber hukum utama adalah Al-qur'an, oleh karena itu hukum perkawinan menurut Al Qur'an adalah berikut : 

 وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلۡمُشۡرِكَـٰتِ حَتَّىٰ یُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةࣱ مُّؤۡمِنَةٌ خَیۡرࣱ مِّن مُّشۡرِكَةࣲ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلۡمُشۡرِكِینَ حَتَّىٰ یُؤۡمِنُوا۟ۚ وَلَعَبۡدࣱ مُّؤۡمِنٌ خَیۡرࣱ مِّن مُّشۡرِكࣲ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ یَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ یَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَیُبَیِّنُ ءَایَـٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ یَتَذَكَّرُونَ 

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah: 221)

Ayat diatas juga dijadikan dasar pengharaman perkawinan beda agama oleh Dr. Yusuf Qordawi dalam bukunya "Halal Haram Dalam Islam" Halaman 260. 

Dari sekian banyak pendapat hukum tentang perkawina beda agama hanya dibolehkan bagi muslim dengan ahlul kitab (perempuan) saja, sedangkan muslimah semuanya sepakat tidak boleh, karena pertimbangan seorang istri akan terpengaruh oleh kebijakan suaminya, sedangkan suami merupakan kepala keluarga, yang berhak membimbing istri masuk islam, akan tetapi hal itu bukan berarti dibolehkan secara fulgar, tentunya masih ada batasan sesuai situasi dan kondisi, seperti pertimbangan yang ditulis oleh Mahbubah (Skripsi "Analisis atas ketentuan hukum perkawinan beda agama dalam kompilasi hukum islam dan counter legal draft KHI) mengutip Dahlan Basri dalam Tesisnya, berikut : 

a. Haram, Jika jelas diyakini akan menghawatirkan keimanan

b. Wajib, jika jelas diyakini tidak akan membawa kemudharatan dan sama sekali tidak ada kekhawatiran keimanan

c. Sunnah, jika jelas diyakini wanita ahli kitab dapat dibimbing dan dipengaruhi masuh islam

d. Makruh, apabila tidak terdesak oleh kondisi apapun.

Begitulah kajian singkat dalam pandangan hukum islam, lebih jelasnya nanti pembaca bisa membaca hasil penelitian saya di website Perpustakaan UIN KHAS Jember seperti telah diurai judul Skripsi diatas.

2. Menurut Katolik / Kristen

Larangan untuk pernikahan beda agama menurut Kristen tercatat di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, larangan ini dibuat dengan tujuan agar umat Tuhan tidak mengikuti ajaran allah-allah asing yang membuat mereka meninggalkan Tuhan. Ulangan 7:3-4 "Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang daripada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka Tuhan akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera."

Larangan yang eksplisit juga dapat kita temukan dalam ayat Alkitab tentang pernikahan Kristen di Perjanjian Baru, yaitu di 2 Korintus 6:14 "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" Dalam Perjanjian Baru, pernikahan ditekankan sebagai sebuah kekudusan. Umat Tuhan disebut Temple of God atau Bait Allah, sehingga Tuhan menginginkan umat-Nya tidak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran lain yang dapat merusak kekudusan tersebut.

3. Menurut Hindu

Dalam upacara perkawinan berdasarkan kitab suci Hindu (Kutawa Manawa/Dresta) atau tradisi suci turun temurun, calon pengantin wanita dan pria harus memeluk agama Hindu. Jika belum sama maka wajib dilaksanakan upacara sudhi vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa sebagai penganut Hindu. Ini juga berkaitan dengan hak dan kewajiban suami-istri.

Masyarakat Hindu Indonesia tidak mengenal perkawinan antar atau beda agama. Kawin beda agama memang dikenal oleh masyarakat Hindu India, tetapi terbatas hanya bagi umat yang dianggap serumpun atau Hinduisme. Seperti, Hindu, Buddha, Jaina, dan Sikh,”

Dengan demikian, perkawinan beda agama dalam ajaran agama Hindu tidak mungkin disahkan melalui vivaha samskara karena bertentangan dengan ketentuan Susastra Veda. Namun, apabila hal ini tetap dilakukan maka pasangan suami istri seperti itu dianggap tidak sah dan selamanya dianggap sebagai samgrhana (perbuatan zina). “Konsekwensinya, perkawinan mereka dianggap batal dan tidak dapat dicatatkan administrasi kependudukannya pada Kantor Catatan Sipil,”

4. Menurut Budha

Pernikahan dalam agama Buddha, harus seagama, tidak bisa ditawar-tawar,” ujar Tokoh agama Buddha, Rahib Jimmu Gunabhadra

Ajaran Budhisme, kata Jimmu, hanya bisa merestui pernikahan sesama penganut Buddha. Agama Buddha, kata dia, tidak dapat memiliki ajaran untuk merestui pernikahan antara dua orang yang berbeda keyakinan.

Penasehat Sangha Mahayana Indonesia ini menyatakan, pernikahan anatara dua orang yang berbeda keyakinan tidak dapat dibenarkan. “Praktiknya kumpul kebo,” ujar dia tegas.

Pernikahan, kata dia, memiliki pijakan hukum dalam ajaran dharma. Pernikahan dalam agama Buddha harus tunduk pada hukum Buddha. Dan dalam ajaran Buddha, kata dia, pernikahan pengikut Buddha, hanya diperkenankan menikahi orang yang memiliki keyakinan yang sama.

5. Menurut Konghuchu

Agama Konghucu melarang pernikahan antara pasangan yang berbeda keyakinan. Sebab peneguhan perkawinan membutuhkan pengakuan kepada agama dan kepercayaan.

Pengurus Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Chandra Setiawan menyatakan bahwa ritual peneguhan perkawinan hanya bisa dilakukan untuk orang yang meyakini Konghucu.

Pada dasarnya (pernikahan berbeda agama) tidak diperbolehkan, karena tidak dapat diteguhkan menurut ajaran Konghucu,”

Agama konghucu, tidak bisa memberikan peneguhan perkawinan terhadap pasangan yang tidak meyakini kebenaran ajaran Konghucu. “Jika tidak meyakini Konghucu, tidak bisa diteguhkan secara Konghucu,”

Dalam ritual perkawinan dalam ajaran Konghucu, pemeluknya diharuskan mengucapkan pengakuan keimanan kepada keyakinan Konghucu. Dia mengatakan, dalam sumpahnya, terdapat pengakuan keimanan untuk menerima Konghucu sebagai agama.

6. Menurut Hukum Positif di Indonesia

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: 

Pasal 4  :

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan".

Pasal 40 :

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;

1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu

perkawinan dengan pria lain;

2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

3. seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Pasal 44 : 

"Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam"

Pasal 61 : 

" Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien" 

Pengaturan syarat sahnya perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UU Perkawinan adalah:

1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat.

Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil.

Terkait bolehkah menikah beda agama, pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum terkait. Sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing terkait hukum nikah beda agama.

Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada 4 cara populer yang ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, 4 cara tersebut adalah:

1. Meminta penetapan pengadilan;

2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama;

3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama; dan

4. Menikah di luar negeri.

Adapun yurisprudensi Mahkamah Agung (“MA”) yaitu Putusan MA No. 1400 K/PDT/1986. Putusan MA tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen Protestan.

Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam), maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan.

Dalam hal ini apabila berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, maka berdasarkan pada Putusan MA tersebut dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Kemudian, apabila permohonan pencatatan perkawinan dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan adalah sah menurut hukum.

Dari sekian ulasan diatas, penulis berkesimpulan, bahwa perkawinan beda agama lebih banyak akan mengalami hambatannya baik Berupa keyakinan juga administratif, oleh karena itu, perkawinan seagama sangat disarankan dan lebih utama juga lebih mudah persyaratannya agar mudah membina rumah tangga bahagia. 

*Penulis Alumni STAIN (UIN KHAS) Jember, sekarang aktif bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila (LBH API) dan Firma Hukum DRH & Partner. Layanan Konsultasi Hukum : 0852-58-500-299





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANFAAT POSITIF SEBUAH PERUSAHAAN MENGGUNAKAN JASA PENGACARA (Legal Corporate atau Corporate Lawyer)

ALAT BUKTI KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BERDASAR KUTIPAN BUKU LETTER C